Senin, 09 Maret 2015

Posted by Unknown On 07.32
     
     Bedhaya Semang secara legendaris diyakini merupakan sebuah tari pusaka peninggalan kerajaan Mataram, yang kemudian diwarisi oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun demikian keberadaannya dalam setiap masa pemerintahan mengalami perkembangan yang berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya. Sebagai warisan tari pusaka, keberadaan Bedhaya Semang boleh dikatakan sangat misterius. Hal ini disebabkan Bedhaya Semang kira-kira sejak satu abad yang lalu hanya dikenal dalam bentuk manuskrip saja, meskipun berita yang didengar itu tersebar pula bahwa Bedhaya Semang adalah induk dari bedhaya dan serimpi.
            Bedhaya dalam perkembangannya semula selalu mendampingi kehidupan raja. Meskipun dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang berbeda,”tutur Theresia Suharti, S.S.T., M.S, ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul Bedhaya Semang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Reaktualisasi Sebuah Tari Pusaka, pada ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (28/3).
Suharti menjelaskan tradisi gaya Yogyakarta dalam seni tari melalui Bedhaya Semang memberikan kesan bahwa sejak pemerintahan Sultan yang pertama tumbuh hingga mencapai pembakuan pada masa Sultan yang kedelapan. Dalam masa yang terakhir ini, kata Suharti, bersamaan dengan proses modernisasi budaya, sehingga banyak terjadi pembaharuan, sedangkan yang tradisi akhirnya di-‘deposisi’-kan menjadi induk yang menjadi pijakan perkembangannya.
“Dalam masa ini dengan adanya pendidikan seni secara akademis, berpengaruh pula bahwa seni dalam komunitas keraton pun menanamkan kepercayaan pula pada komunitas akademisi dalam bidang seni,”kata staf pengajar ISI Yogyakarta tersebut.
Melihat perkembangan ini maka Suharti menilai sinkronisasi dalam pemikiran ini sangat setuju dengan konsep pemikiran dalam perspektif seni setara untuk mengimbangi perspektif sains. Lebih dari itu sebenarnya melalui seni, akan membawa seseorang lebih berbudaya dalam kehidupannya.
Ia mengatakan bahwa proses reaktualisasi Bedhaya Semang ini merupakan upaya penyelamatan sebuah aset yang sangat berharga karena apa yang terekam merupakan gambaran hasil kecerdasan lokal yang pengolahannya penuh kontemplatif. Menurut Suharti terkadang hal ini tidak mudah untuk dimengerti bagi generasi masa kini.
Dari penelitian yang dilakukan tersebut Suharti mengatakan bahwa keterbukaan Keraton Yogyakarta merupakan jembatan yang sangat positif untuk bisa menyelamatkan aset budaya seperti halnya Bedhaya Semang, yang mampu menunjukkan sebuah hasil pengolahan kecerdasan lokal dalam sebuah tari pusaka yang unik.
“Ini juga membantu saya melihat bahwa Bedhaya Semang merupakan induk dari bedhaya dan serimpi, dan bahkan juga wayang wong, dan juga tari yang lain,”papar perempuan kelahiran Yogyakarta, 8 Februari 1947 ini.
Selama proses reaktualisasi yang dilakukannya bagi para penari bisa lebih merasakan hal yang kontemplatif, apa yang tergerak dalam kepenarian ini bukanlah hanya sekedar ragawi, tetapi juga jiwani. Hal ini, imbuh Suharti, juga dirasakan pula oleh para pangrawit, dan juga para pasindhen.
“Demi menjaga kesakralan, proses reaktualisasi ini tidak hanya secara teknis semata, tetapi dilaksanakan melalui ‘laku’, sesuai dengan adat budaya dalam kehidupan komunitas keraton,”pungkas Suharti yang meraih doktor dengan predikat sangat memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)

0 komentar:

Posting Komentar