Rabu, 25 Februari 2015

Posted by Unknown On 21.17




1. Bedhaya Ketawang
          Dedhaya Ketawang bukan suatu tarian yang semata-mata untuk tontonan, karena tari ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana jadi sangad khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini.
          Bedhoyo Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhoyo Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri. Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhoyo Ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
2. Bedhaya Semang
          Tari putri klasik di Istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan dianggap sebagai pusaka. Hal ini dapat dibuktikan pada saat awal pertunjukannya para penari keluar dari Bangsal Prabayeksa, yaitu tempat untuk menyimpan pusaka-pusaka Kraton menuju Bangsal Kencono. Tari Bedhaya Semang yang sangat disakralkan oleh Kraton merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Menurut Babad Nitik, Bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama semang (Bedhaya semang) diberikan oleh Sultan Agung. Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual istana, seperti peristiwa jumenengan. Berdasarkan tradisi yang telah ada, jumlah penari bedhaya terdiri dari sembilan orang. Penari Bedhaya tersebut mendapatkan status sebgai pegawai Kraton dengan sebutan abdi dalem Bedhaya (Lihat abdi dalem bedhaya). Jumlah penari sembilan orang dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia (babadan hawa sanga, Jawa), yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan. Satu lubang mulut dan satu lubang dubur. Penari Bedhaya semang yang berjumlah sembilan orang terdiri dari : batak, endhel, jangga (gulu), apit ngajeng, apet wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking dan buntil.
      Para penari Bedhaya semang memakai busana yang sama. Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dan wujud yang sama. Namun demikian tata busana yang dipakai para penari mengalami perubahan sesuai dengan kehendak sultan yang sedang memerintah.

3. Bedhaya Sabda Aji
         
          Ditarikan oleh sembilan orang, bercerita tentang sabda (perintah) aji (raja) atau perintah Sri Sultan HB IX kepada para empu tari untuk menyempurnakan tari golek menak. Salah satu penari dalam Bedhaya Sabda Aji adalah putri sulung Sri Sultan HB X, GKR Pembayun.
4. Bedhaya Angron Sekar
          Cerita dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, yang tahun kalau pasangannya ditaklukkan Sutawijya bermaksud balas dendam. Namun akhirnya justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya.
          Bedhaya Angron Sekar ini merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura.
5. Bedhaya Herjuna Wiwaha
          Bedhaya ini menceritakan proses pengangkatan KGPH Mangkubumi menjadi Sri Sultan HB X
6. Bedhaya Sumreg
          Bedhaya Sumreg atau Sumbreg merupakan salah satu "bedhaya pusaka" milik Kraton Yogyakarta. Bedhaya Sumreg ini memiliki arti sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng Ladrang dan Ketawang. Bedhaya Sumreg pertama kali muncul pada masa Sri Susushunan Paku Buwono I (Geger Spei).
          Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I menyusun lagi Bedhaya Sumreg seiring dengan pendirian Kasultanan Yogyakarta. Dikisahkan pula saat Sri Sultan Hamengkubuwana I melabuh di Pantai Parangkusuma, beliau disambut dengan Bedhaya Sumreg yang ditarikan oleh para penari dari Pantai Selatan.
          Bedhaya Sumreg ini mengkisahkan tentang sikap dan cara yang ditempuh oleh para pemimipin dalam mengatasi berbagi persoalan di jamannya. Pesan yang disampaikan oleh Bedhaya ini adalah agar kehidupan manusia di bumi kembali saling menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan dengan berlandaskan hubungan kekeluargaan, berbudaya, dan beragama.
7. Bedhaya Sang Amurwabhumi
          Salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana X. Karya tari ini merupakan legitimasi Sri Sultan Hamengku Buwana X kepada swargi (almarhum Sri Sultan Hamengku Buwana IX), yang mempunyai konsep filosofis, yakni setia kepada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial, konsep dan ide dasar tari ini dari Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sedangkan koreografinya oleh K.R.T.Sasmintadipura.
          Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencono pada saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1990.
          Bedhaya Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan putri (penari) dan berdurasi dua setengah (2,5 ) jam, diiringi irama dramatik yang menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki karena setiap raja selalu mempunyai ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap pengabdian kepada rakyatnya dengan mencoba menggalang kepemimpinan yang baik, melalui pola pikir untuk mengayomi dan mensejahterakan rakyat.
          Bedhaya Sang Amurwabhumi seperti juga dengan bedhaya yang lain sesuai dengan tradisi tetap mengacu pada patokan baku tari bedhaya. Dasar ceritanya diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit, yang selesai ditulis bertepetan pada hari Sabtu Pahing. Bedhaya Sang Amurwabhumi mengambil sentral pada perkimpoian sang Amurwabhumi (Ken Arok) dengan Prajnaparamita (Ken Dedes) mensimbolisasikan spirit patriotisme dan filosofi kepemimpinan.
8. Bedhaya Pangkur
9. Bedhaya Duradasih
10. Bedhaya Mangunkarya
11. Bedhaya Sinom
12. Bedhaya Endhol – Endhol
13. Bedhaya Gandrungmanis
14. Bedhaya Kabor
15. Bedhaya Tejanata

0 komentar:

Posting Komentar