Selasa, 10 Maret 2015

Posted by Unknown On 03.08
Bedhaya_KetawangKETIKA TARI KLASIK DIPERKENALKAN KEMBALI 
Bedhaya Srimpi merupakan salah satu bentuk court art yang kini keberadaannya mulai harus lebih diperhatikan. Berasal dari dalam tembok kerajaan di Jawa, tari Bedhaya dan Srimpi bisa dikatakan merupakan induk dari bentuk tari Jawa putri. Pada awalnya berkembang berbagai bentuk tari Bedhaya dan Srimpi. Hampir semua Raja di tanah Jawa membuat tari Bedhaya dan Srimpi di masa pemerintahan mereka.

Perkembangan Bedhaya dan Srimpi kini justru banyak berada di tangan masyarakat. Namun karena pergeseran kebudayaan serta kondisi ekonomi yang menurun dalam masyarakat, maka kekuatan masyarakat untuk menjaga warisan budaya ini juga semakin surut. Satu-persatu penjaga tari Bedhaya dan Srimpi mulai berkurang. Kini, para peneliti dari mancanegara mulai berdatangan untuk melakukan pencatatan kesenian ini. Amatlah disayangkan, apabila aset seni budaya kita yang berlimpah-ruah justru dipelajari oleh bangsa lain, sementara kita sendiri lupa bahwa tradisi kita begitu kaya dan penuh inspirasi. Kelengahan kita dalam menjaga aset budaya kita membuka ruang bagi pihak asing untuk mempelajari warisan tradisi yang langka ini. Suatu saat nanti, ketika kita mulai lepas dari akar kebudayaan kita, maka sungguh ironis bila kita harus mempelajari kembali warisan budaya leluhur kita justru dari bangsa lain – semata karena kita lupa untuk menjaganya. 

Berangkat dari kepedulian tersebut, sebuah program konservasi jangka panjang digelar untuk tari Bedhaya dan Srimpi, dengan narasumber utama Sulistyo Tirtokusumo, master tari klasik Jawa, dan Michi Tomioka, kandidat doktor dari University of Osaka, Jepang, yang telah meriset dan mempelajari tari Bedhaya dan Srimpi selama beberapa tahun di Indonesia. Tujuannya adalah penyelamatan ragam tari Bedhaya dan Srimpi melalui pendokumentasian digital / audio-visual yang kelak akan memudahkan siapapun untuk mempelajarinya. Program konservasi ini dimulai dalam bentuk workshop, dimana hasil dari workshop ini akan didokumentasikan dalam bentuk audio-visual. Program konservasi ini kami anggap tinggi urgensinya, mengingat master tari klasik yang menguasai 10 tari Srimpi versi asli dengan durasi panjang (minimal 60 menit) yaitu Ibu Sri Sutjiati Djoko Suhardjo, belum lama ini meninggal. Diantara beberapa murid penarinya, salah seorang membuat catatan lengkap mulai dari transkripsi vokabuler gerakan hingga transkripsi gendhing (musik), yaitu Michi Tomioka, asal Jepang. 

TARI SRIMPI & BEDHAYA YANG AKAN DIDOKUMENTASIKANTari Srimpi dan Bedhaya asal Keraton Surakarta yang berkembang dan diajarkan di sekolah/sanggar tari pada umumnya adalah versi pemendekan dari versi asli yang rata-rata berdurasi minimal 60 menit.  Pada program pendokumentasian ini, yang akan direkam adalah versi asli berdurasi panjang, yaitu :
1.         Srimpi Anglir Mendung (karya Sunan PB IV)
2.         Srimpi Tameng Gito (karya Sunan PB VIII)
3.         Srimpi Gandakusuma (karya Sunan PB IX)
4.         Srimpi Dhempel
5.         Srimpi Sukarsih (karya Sunan PB VIII)
6.         Srimpi Sangupati (karya Sunan PB IX)
7.         Srimpi Lobong (karya Sunan PB IX)
8.         Srimpi Glondong Pring (karya Sunan PB IX)
9.         Srimpi Ludira Madu (karya Sunan PB V)
10.    Srimpi Gambir Sawit
11.    Bedhaya Duradasih (karya Sunan PB V)
12.    Bedhaya Pangkur (karya Sunan PB VIII)

Dari jenis-jenis diatas, beberapa sudah didokumentasikan, meskipun dalam versi pendek. Untuk pendokumentasian tahap 1 ini, dilakukan workshop terbatas untuk 2 Srimpi terlebih dahulu yaitu Srimpi Sukarsih dan Srimpi Dhempel. Untuk beberapa sisanya, pendokumentasian akan dilakukan pada tahap 2 dan 3 di awal dan pertengahan 2012. Karena beberapa catatan lengkap dari Srimpi tersebut berada di Jepang (dokumentasi Michi Tomioka) dan baru diambil akhir tahun ini semuanya untuk pendokumentasian tahap berikutnya. Metode pendokumentasian dilakukan melalui workshop dimana Michi Tomioka memberikan arahan vokabuler gerak sesuai catatan yang dibuatnya berdasarkan narasumber Ibu Sri Sutjiati Djoko Suhardjo (alm) kepada para penari. Dalam proses ini, master tari klasik Jawa Sulistyo Tirtokusumo – yang juga merupakan guru tari dari Michi Tomioka – turut turun tangan dalam memberikan arahan.

PEMANFAATAN YOUTUBE UNTUK PENYEBAR-LUASAN 
Hasil dari pendokumentasian ini dapat diunduh melalui youtube agar memudahkan mereka yang ingin mempelajarinya. Video hasil dokumentasi ini akan dipertunjukan secara luas dan gratis melalui youtube, dan siapapun dipersilahkan untuk mengunduh video dokumentasi ini untuk kebutuhan studi dan pembelajaran, dengan kualitas gambar (resolusi) apa adanya. Namun bagi peminat serius yang ingin memiliki video hasil dokumentasi ini dengan kualitas gambar yang jauh lebih baik, dapat membelinya dan akan mendapatkan user id dan password untuk mengunduhnya melalui website.

PROYEK PENDOKUMENTASIAN GOTONG ROYONGProgram ini merupakan program konservasi yang bersifat gotong royong. Hal ini disadari oleh tim produksi berdasarkan pengalaman selama ini, dimana sponsor kurang berminat untuk mendukung proyek dokumentasi semacam ini karena dianggap tidak ’menjual’ dan tidak bersifat massal. Meski dengan segala keterbatasan, proyek pendokumentasian ini dirasa tetap harus dijalankan. Workshop tertutup dilakukan di Gedung F lantai 6 yang difasilitasi oleh Direktorat Seni Pertunjukan. 

Hal ini juga terkait dengan pemilihan para penari. Untuk jenis Srimpi yang sulit dengan tempo lambat dan tingkat intensitas tinggi maupun vokabuler gerak yang beragam, akan ditarikan oleh para penari Jawa senior. Salah satunya adalah koreografer Elly D. Luthan. Sementara untuk Srimpi dengan tingkat kesulitan menengah, beberapa penari ’relawan’ diminta sumbangsihnya untuk mempelajarinya dalam rangka proyek pendokumentasian ini. Sebagian besar penari yang terlibat merupakan para penari Jawa tradisional yang pernah mempelajari tari Srimpi dan Bedhaya. Pada pendokumentasian tahap berikutnya di tahun 2012, direncanakan sebuah workshop terbuka dimana penari-penari relawan (umum) yang memiliki dasar tari Jawa klasik memadai, dipersilakan untuk ikut mempelajarinya.
Posted by Unknown On 03.05


Kategori: Tarian
Elemen Budaya: Tarian
Provinsi: DI Jogjakarta
Asal Daerah: Yogyakarta
Sesuai dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh 7 orang penari (biasanya 9 orang penari). Bedhaya ini ciptaan Sri Sultan HB IX. Bedhaya ini bercerita tentang 2 orang utusan Sultan Agung untuk menuju Batavia. dalam perjalanan menuju Batavia kedua utusan itu harus menghadapi berbagai rintangan. Akhirnya kedua utusan tersebut dapat melewati segala rintangan yang ada.
Posted by Unknown On 03.01
BEDHAYA SURYASUMIRAT





Mengenal Bedhaya Suryasumirat
                        Tari tradisi istana jawa yang dikenal sekarang, secara garis besar terdiri dari tari tradisi Surakarta dan tari tradisi Yogyakarta. Berdasarkan tradisi-tradisi sastra yang menyertainya , asal-usul penciptaannya senantiasa dikembalikan kepada raja-raja yang bertahta pada saat itu, seperti Panembahan Senapati, Sultan Agung, Hamengkubuwana I, Pakubuwana dan Mangkunegara. Hal tersebut berkaitan erat dengan cita pikiran tentang kedudukan raja yang dipercayai bersifat dewa,yang berkuasa di negara kosmis.Mereka sebagai tokoh-tokoh besar dalam dinasti Mataram Baru yang dianggap pencipta dari tari-tarian Jawa yang dikenal sekarang ini merupakan suatu kebulatan kosmos yang tidak lepasdari masa-masa sebelumnya.
                        Para Mangkunagaran seperti halnya istana-istana di Jawa, hinggasekarang terlihat masih menyelenggarakan suatu bentuk tarian yang dinamakan bedhaya.Pada umumnya bedhaya di Mangkunaga ditarikan oleh tujuh orang penari putri(Anglirmendhung dan Bedhah Madiun), walaupun sebelumnya ada pula komposisi yang terdiri dari tiga orang penari putri (Anglirmendhung), dan sekarang terdapat bedhaya yang menggunakan sembilan orang penari putri (Bedhaya Suryasumirat).Istana merasa perlu memerlukan menampilkan tarian yang selalu dihubungkan dengan ritus ini tadak lain sebagai bagian yang upaya yang ditujukan bagi kepentingan tegaknya wibawa pemerintahan istana.
                        Tari bedhaya adalah tari putri yang hidup dan berkembang di istana. Sebelum abad XVIII tari bedhaya mutlakmilik kerajaan.Oleh karena itu tari bedhaya hanya dipentaskan di dalam istana.Hal ini sebagai pengaruh adanya anggapan bahwa bedhaya merupakan pusaka kerajaan.Ia dianggap sebagai kekayaan yang memberikan konstribusi dalam mengkultus kan raja dan meningkatkan kewibawaan raja.Kepemilikan bedhaya juga menunjukkan status yang tinggi,sehingga kemudian tradisi memiliki bedhaya mulai diikuti para penguasa di bawah raja.Beberapa adipati,bupati, dan wedana mulai banyak raja yang memiliki bedhaya.Bila penggunaan Bedhaya Suryasumirat di Mangkunagaran adalah suatu kesengajaan maka secara politis hal itu dapat dikatakan ada gejala untuk menyamai praja meskipun hal itu dilakukan secara halus.
                        Penyajian Bedhaya Suryasumirat itu karena ketidaklazimannya tentu memiliki maksud-maksud tertentu yang mungkin berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Bedhaya baru ini sedemikian besar artinya sehingga sudah barang tentu mengandung masud-maksud yang besar atas penyusunannya. Oleh karena itu perlu dipahami juga proses pembentukannya serta apa yang berbeda dari bedhaya yang lazim dimiliki oleh keraton.


      
    Posted by Unknown On 02.54

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" : Tataran Kesempurnaan Manusia



    Karya Sri Sultan Hamengku Buwana X


    Sakral, hening serta magis mendadak menyelimuti Bangsal Kencono, sesaat para pengetuk gamelan perlahan memainkan gending Ladrang Prabu Anom dalam mengiringi sembilan penari putri yang melangkah tak kalah lambannya memasuki sayap Bangsal Kencono. Dalam gemulai para penari mulai merunduk mengambil posisi sembahan, perlambang manusia menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa Keraton.

    Gerak merendahkan bahu, dagu ditarik, pergelangan tangan gemulai sambil sesekali menghentak mengibaskan selendang - menciptakan tegangan daya ekspresi dalam tubuh penari menjadi karakteristik Tari Bedhaya. Tarian putri Jawa klasik yang adiluhung, halus, luhur - bercerita tentang legenda, babad ataupun sejarah.

    Bagai bidadari, paras sembilan penari hampir serupa. Ayu, anggun dan bersinar - dalam balutan dan Goresan wajah khas mempelai putri pengantin Jawa. Alur komposisi rias paes ageng dimulai pada dahi yang diberi paesan berwarna hitam. lapisan garis prada (emas) mengelilingi mempertegas garis luar paesan. Tak luput Wajikan ditengah dahi, bentukan alis menjangan ranggah, hingga rambut tergulung kembang melati rangkai.

    Balutan busana dodot berupa kain bermotif cinde dan kampuh berwarna semen berpadu dengan kilau kalung susun serta plat bahu menambah sentuhan pada lengan bagian atas, sedang pada daun telinga terselip sumping ron dan subang. Seakan rapatnya dodot-an tak membatasi gerak tari selama satu jam tanpa henti, Gerak-gerak lengkung terus mengalir (mbanyu mili) membuat formasi berubah-ubah menjadikan alur cerita yang apik.

    Tak melulu gemulai, adegan perang dalam tempo tinggi membuat dua orang penari dengan setengah berlari saling mencoba menghunuskan keris. Perang yang dijadikan simbol dari pergolakan batin manusia dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan yang diwujudkan melalui sosok Harjuna.

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X kali ini menjadi garapannya yang ketiga. Karya Perdana beliau Tahun 1997 berjudul "Arjuna Wiwaha". Di Tahun 2004 bertepatan dengan peringatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai pahlawan nasional terciptalah "Amurwo Bumi" yang menjadi wujud penghormatan beliau kepada ayahnya (Sri Sultan Hamengku Buwana IX). Dibantu R Riya Kusumaningrat (RAy Sri Kadaryati) selaku penata tari senior yang sekaligus mendapat Dhawuh dari Sri Sultan untuk menggarap tari bedaya ini, proses pencarian gerak diawali dengan menerjemahkan sinopsis cerita yang ditulis langsung oleh Sri Sultan.

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" menceritakan tentang tokoh Harjuna yang menurut anggapan Sri Sultan bukanlah tokoh yang sering gonta-ganti pasangan, melainkan ksatria sejati yang berjuluk lananging jagad wujud nyata manusia yang sudah menuju tataran sempurna yang bertugas "memayu hayuning bawana", ksatria yang waskitha (mengetahui kejadian yang belum terjadi) hingga pantas menjadi teladan bagi para satria dan manusia biasa.

    Harjuna adalah sejatining satriya, contoh manusia sempurna yang dalam menjalani kehidupannya dengan mengedepankan tiga hal: Tirta Martini; sumber air kehidupan manusia "banyu penguripan" menjadi inti daya air yang berada di tubuh manusia (sperma). Tirta Kamandanu; Banyu wiji tempat/wadah sperma lan madzi (indung telur) manusia, awal mula sperma dan indung telur bertemu pada saat suami istri melakukan persetubuhan. Terakhir, Tirta Prawita Sari; dengan menyatunya tirta martani dan tirta kamandanu didalam tubuh manusia (istri) akan menumbuhkan kekuatan, cahaya wibawa terpancar. Dengan diawali bahwa manusia harus selalu ingat, tahu dan mengkaji setiap peristiwa (kenyataan) maka manusia akan mendapatkan karomah keghoiban, hingga manusia akan menjadi "minyak wewadosing jagad" (terang bagi dunia).

    Bedhaya bila diwujudkan dalam kehidupan manusia dapat diartikan sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan planet-planet dalam kehidupan alam semesta dan lambang sembilan lubang hawa dalam tubuh manusia sebagai kelengkapan hidup atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai babadan hawa sanga yaitu; lubang dikedua mata, dua buah lubang hidung , satu mulut, dua buah kuping, satu lubang kemaluan dan satu lubang pelepasan.

    Menurut masyarakat Jawa sembilan unsur lubang hawa inilah yang memegang kendali dalam kehidupan manusia dan bisa mengakibatkan berbagai masalah jika tidak dijaga dan dikendalikan dengan baik. Pesan yang tersampaikan bahwa manusia diharapkan mampu berserah diri, tawakal dan selalu melakukan introspeksi diri dengan melakukan perenungan, tapa/samadi dan berdialog dengan Yang Maha Kuasa.

    Gerak Tari Bedhaya Harjuna Wijaya yang sarat muatan nilai simbolik dan filosofi kawruh joget Mataram, menarik benang merah akan keterkaitan pada kehidupan didunia dan lebih berorientasi kepada pemahaman diri sendiri, perenungan diri antara manusia sebagai pribadi individual dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup harus dilihat sebagai perjuangan bukan hanya dijalani tanpa arti.

    Tari Bedhaya memandu kita dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan. Menuju tataran manusia yang sempurna meski tak sesempurna tokoh Harjuna.
    Posted by Unknown On 02.48
    Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta.
    1. (Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Tarian Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya
    Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan
    Danurejan, Yogyakarta
    Serangkaian acara yang digelar Didik Nini Thowok dalam kerjasamanya dengan berbagai pihak yang membuahkan pergelaran Reborn: International Dance Performances & Seminar mulai tanggal 4-6 Desember 2014 dipungkasi dengan penyajian masterpiece karya Didik yang diberi nama Tari Bedhaya Hagoromo.
    Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta. Selain itu Bedhaya Hagoromo juga dipersembahkan sebagai bentuk suka cita dan syukurnya atas usia 60 tahun dirinya yang dalam beberapa konsepsi bangsa Timur disebut sebagai reborn atau kelahiran kembali.
    Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang dalam Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Penampilan Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang
    dalam Tari Bedhaya Hagoromo
    Bedaya Hagoromo seperti tersirat dalam namanya, merupakan perpaduan dua unsur budaya, Jawa dan Jepang. Hagoromo sendiri berarti “Jubah Terbang”. Hagoromo merupakan salah satu tari drama Noh yang mengisahkan tentang seorang pemancing bernama Hakuryo yang mengambil jubah milik seorang bidadari yang sedang mandi di sungai. Hakuryo mau mengembalikan jubah terbang milik bidadari tersebut dengan syarat bidadari tersebut mau menarikan tarian langit di hadapannya. Setelah syarat dipenuhi, bidadari bisa terbang kembali ke langit. Cerita ini mirip dengan cerita Jaka Tarub di Jawa.
    Ciri khas tari garapan Didik yang dinamakan Bedhaya Hagoromo ini seluruh penarinya adalah laki-laki yang kemudian menarikan tarian perempuan (cross gender). Dengan demikian, hal ini juga bisa disebut sebagai bedhaya kakung. Bedhaya Hagoromo sendiri pernah dipentaskan Didik pada tahun 2001 dan 2004. Atas saran GBPH Prabukusumo, Didik kemudian mempersembahkan karya tarinya tersebut kepada Sultan Hamengku Buwana X. Hal itu sebagai ungkapan rasa terima kasih Didik kepada Sultan Yogyakarta sekaligus warga masyarakatnya.
    Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya
    setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok,
    sementara Didik duduk bersimpuh
    Tata rias-busana yang dikenakan penari Bedhaya Hagoromo sama seperti penari bedhaya putri pada umumnya, dengan menggunakan rias yang disebut jahitan dan busana jamangan, yang terdiri dari kain lerek motif parang, rompi dengan border mote pada tepinya, sampur sutra warna oranye dengan tumpal, jamang berhiaskan bulu, sumping, kalung, kelat bahu, dan slepe. Selain itu ada pula gelang kana, subang, cunduk jungkat, cunduk mentul, ceplok jebehan (hiasan bunga), pelik pada gelung rambut. Sementara Penari Endhel (diperankan oleh Didik Nini Thowok) mengenakan perhiasan kepala hagoromo yang dihias dengan bunga peony.
    Seluruh penari juga menggunakan kipas yang diadaptasi dari kipas jenis chukei seperti yang digunakan dalam drama Noh. Semua pemain mengenakan Topeng K-omote seperti yang dipakai pada Tari Hagoromo Noh Jepang. Penari Endhel selain mengenakan kostum bedhaya seperti lainnya masih ditambah dengan kimono transparan.
    Foto bersama seusai pentas Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Para penari bersama Sri Sultan Hamengku Buwana X
    dan Ratu Hemas usai pentas
    Pada bagian cerita dimana bidadari (Nawangwulan) menangis dan pemancing (Jaka Tarub) memberikan jubah terbang (Hagoromo) semua penari kemudian mengenakan topeng tiruan (copy) dari topeng K-omote yang dikenakan dalam Tari Noh Hagoromo. Setelah menerima jubah terbang (hagoromo) penari (Didik Nini Thowok) kemudian menarikan tari Noh Hagoromo dengan diiringi instrumen kemanak yang dikolaborasikan dengan Ji-Utai Noh Hagoromo. Tari Bedhaya Hagoromo menggunakan iringan Gendhing Kapang-kapang: kandha, Gendhing Ladrang, serta Gendhing Ketawang.
    Usai pementasan Tari Bedhaya Hagoromo Didik Nini Thowok menyerahkan naskah tari tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwana X sebagai wujud persembahan karya tarinya kepada Sultan. Sultan menyambut baik hal itu seraya mengharap agar Didik terus berkreasi dan berkreasi.

    Senin, 09 Maret 2015

    Posted by Unknown On 08.05
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Posted by Unknown On 07.45
    •         Bedhaya Angron Sekar. Cerita dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, bermaksud balas dendam. Tapi ternyata,  justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya. Bedhaya Angron Sekar ini merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura.
    Posted by Unknown On 07.37
               Sabda Aji, artinya kurang lebih perintah raja (dhawuhe Sang Nata) atau titah raja. Raja yang dimaksud adalah raja Kasultanan  Yogyakarta, Sri Sultan HB IX. Saat itu kira-kira tahun 1987, Sultan HB IX  mengundang tokoh-tokoh tari  dari Yogyakarta, beliau menghendaki Golek Menak dikembangkan. HB IX benar-benar sosok yang moderat, demokrat sejati, dan transformastor budaya yang mumpuni. Hal ini salah satunya terlihat dari keinginan beliau, untuk memasukkan berbagai unsur budaya Nusantara ke dalam Golek Menak.
    Golek Menak adalah tari Yogyakarta genre baru, merupakan salah satu karya Sultan HB IX. Gerak tari  Golek Menak patah-patah, seolah boneka kayu yang menari, sedangkan isi ceritanya bersumber pada Serat Menak, yang berasal dari negeri 1001 malam. Golek Menak sangat menarik, geraknya amat khas, dan tidak mudah membawakannya.
    Bedaya Sabda Aji, adalah bedaya Golek Menak yang pertama, merupakan karya R. Ay. Sri Kadarjati Ywandjono yang saat ini sudah berusia 66 tahun. Karya yang  dibuat tahun 2007 itu, seolah merupakan jawaban Sri Kadaryati, salah satu empu tari Yogyakarta yang juga cucu Sultan HB VIII, terhadap titah Sultan HB IX dua pulah tahun silam.
    Sesuai dengan pesan dan semangat akulturasi dan transfosmasi kraton Yogyakarta, Kadarjati memasukkan unsur kendangan Sunda yang dinamis dan unsur silat Padang. Jadi, bedaya ini terasa unik dengan adanya gerak patah-patah seperti golek kayu, kendangan yang  rancak, dan ada unsur silat pula.
    Keunikan tidak berhenti di situ, salah satu penari (batak) memakai kostum yang berbeda untuk menunjukkan adanya tokoh dari cerita Serat Menak. Bedaya Sanda Aji menjadi lebih istimewa, karena putri Sultan HB X, GKR Pembayun terlibat menari, sebagai jangga.
    Usai pementasan Bedaya Sabda Aji dipersembahkan kepada Sultan HBX, artinya sejak itu pula Bedaya Sabda Aji adalah milik Sultan HB X. Sudah jamak di dunia seni (dulu), sebuah karya dipersembahkan kepada raja, dan akhirnya dianggap karya raja tersebut. Namun tidak selalu seperti itu, karena karya yang lahir atas prakarsa raja atau penguasa kala itu, juga dianggap karya pemrakrasa atau penguasa.
    Apalagi, raja dan keluarganya (sentana dalem) semua bisa menari. Bahkan, untuk belajar tata krama semua putra-putri raja wajib belajar menari. Itu dulu tentu. Sekarang kurang jelas, apakah masih berlaku belajar tata krama dilakukan dengan belajar menari/ wayang wong ataukah tidak. Namun, besar kemungkinan tidak lagi.
    Banyaknya karya seni dan sastra yang noname di Jawa/ Indonesia, kebanyakan karena sifat rendah hati seseorang (pengarang), mereka tidak mau menonjolkan diri. Akibatnya, banyak pula karya yang tidak terdokumentasi dengan baik, karena penyebaran ataupun pelestariannya hanya gethok tular, seperti tutur tinular. Aslinya seperti apa, karya siapa, sulit ditelusuri.
    Karya-karya yang  berupa persembahan dari kawula kepada raja, tidak sedikit, baik berupa lagu/ gending, tarian, tembang lukisan/ batik dan lain-lain. Bagi kawula (rakyat jelata) bisa mempersembahkan sesuatu kepada raja, apalagi disukai, adalah hal yang membanggakan. Mereka berbuat seperti itu tanpa pamrih, kecuali bakti dan bukti cinta rakyat kepada rajanya, pengayomnya.
    Beberapa bedaya dipersembahkan kepada Sultan HB X sebelumnya, seperti Bedaya Sang Amurwa Bumi, Bedaya Harjuna Wiwaha, dan lain-lain.

    Bedhaya Sabda Aji merupakan bedaya golek Menak yang pertama, dipersembahkan kepada Sultan HB X. Paling kiri adalah GKR Pembayun, putri Sultan HB X

    Salah satu penari berbeda kostum, dia berperan sebagai batak, peran terpenting dalam bedaya

    Yang bersila dan yang berdiri

    Komposisi awal / akhir bedaya

    Latihan terakhir (tengah adalah GKR Pembayun, paling kiri R.Ay. Sri Kadarjati)


    Read more: http://baltyra.com/2011/03/28/kenali-tari-tarian-indonesia-5-bedaya-sabda-aji/#ixzz3TtotYmRd
    Posted by Unknown On 07.32
         
         Bedhaya Semang secara legendaris diyakini merupakan sebuah tari pusaka peninggalan kerajaan Mataram, yang kemudian diwarisi oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun demikian keberadaannya dalam setiap masa pemerintahan mengalami perkembangan yang berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya. Sebagai warisan tari pusaka, keberadaan Bedhaya Semang boleh dikatakan sangat misterius. Hal ini disebabkan Bedhaya Semang kira-kira sejak satu abad yang lalu hanya dikenal dalam bentuk manuskrip saja, meskipun berita yang didengar itu tersebar pula bahwa Bedhaya Semang adalah induk dari bedhaya dan serimpi.
                Bedhaya dalam perkembangannya semula selalu mendampingi kehidupan raja. Meskipun dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang berbeda,”tutur Theresia Suharti, S.S.T., M.S, ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul Bedhaya Semang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Reaktualisasi Sebuah Tari Pusaka, pada ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (28/3).
    Suharti menjelaskan tradisi gaya Yogyakarta dalam seni tari melalui Bedhaya Semang memberikan kesan bahwa sejak pemerintahan Sultan yang pertama tumbuh hingga mencapai pembakuan pada masa Sultan yang kedelapan. Dalam masa yang terakhir ini, kata Suharti, bersamaan dengan proses modernisasi budaya, sehingga banyak terjadi pembaharuan, sedangkan yang tradisi akhirnya di-‘deposisi’-kan menjadi induk yang menjadi pijakan perkembangannya.
    “Dalam masa ini dengan adanya pendidikan seni secara akademis, berpengaruh pula bahwa seni dalam komunitas keraton pun menanamkan kepercayaan pula pada komunitas akademisi dalam bidang seni,”kata staf pengajar ISI Yogyakarta tersebut.
    Melihat perkembangan ini maka Suharti menilai sinkronisasi dalam pemikiran ini sangat setuju dengan konsep pemikiran dalam perspektif seni setara untuk mengimbangi perspektif sains. Lebih dari itu sebenarnya melalui seni, akan membawa seseorang lebih berbudaya dalam kehidupannya.
    Ia mengatakan bahwa proses reaktualisasi Bedhaya Semang ini merupakan upaya penyelamatan sebuah aset yang sangat berharga karena apa yang terekam merupakan gambaran hasil kecerdasan lokal yang pengolahannya penuh kontemplatif. Menurut Suharti terkadang hal ini tidak mudah untuk dimengerti bagi generasi masa kini.
    Dari penelitian yang dilakukan tersebut Suharti mengatakan bahwa keterbukaan Keraton Yogyakarta merupakan jembatan yang sangat positif untuk bisa menyelamatkan aset budaya seperti halnya Bedhaya Semang, yang mampu menunjukkan sebuah hasil pengolahan kecerdasan lokal dalam sebuah tari pusaka yang unik.
    “Ini juga membantu saya melihat bahwa Bedhaya Semang merupakan induk dari bedhaya dan serimpi, dan bahkan juga wayang wong, dan juga tari yang lain,”papar perempuan kelahiran Yogyakarta, 8 Februari 1947 ini.
    Selama proses reaktualisasi yang dilakukannya bagi para penari bisa lebih merasakan hal yang kontemplatif, apa yang tergerak dalam kepenarian ini bukanlah hanya sekedar ragawi, tetapi juga jiwani. Hal ini, imbuh Suharti, juga dirasakan pula oleh para pangrawit, dan juga para pasindhen.
    “Demi menjaga kesakralan, proses reaktualisasi ini tidak hanya secara teknis semata, tetapi dilaksanakan melalui ‘laku’, sesuai dengan adat budaya dalam kehidupan komunitas keraton,”pungkas Suharti yang meraih doktor dengan predikat sangat memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)

    Jumat, 06 Maret 2015

    Posted by Unknown On 22.23
    Jenis Instrumen

                              

     Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong (gemelan laras pelog, tanpa keprak)
    Posted by Unknown On 22.19
    Gerak Tari   

                   

                Sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
    Posted by Unknown On 22.14



    Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.

    Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).

    Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
    Keberadaan tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih beta diri.

    Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
    Posted by Unknown On 06.17

    Tari Bedhaya Ketawang

     
    Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
    Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).
    Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
    Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
    Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
    Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
    Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
    Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
    Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
    Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
    Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
    Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
    Posted by Unknown On 06.14
    Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
    Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik) yakni latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar kencana dan pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja. Pada saat kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak, mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari), kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
    Tata rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa. Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena bentuknya paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup kuncup bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari Bedhaya Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
    Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung. Ini merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang mengheningkan cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan sebagai sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya makna simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
    Rambut disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai rajut yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
    Para penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun talak (hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat. Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe berwarna kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah keindahan warna busana.
    Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk mentul (bunga goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa bertabur intan, dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk wulan tumanggal (bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana (Yosodipuro,tt : 24).
    Hiasan buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon beringin ini disebut Kalpataru dan  Dewantaru yang mempunyai makna kesuburan yang abadi membawa kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya Ketawang sangat kesakralannya.