Tari Bedhaya Ketawang yang dilakukan oleh Sembilan orang penari banyak mengandung makna simbolis yang selalu terkait dengan pandangan filsafat masyarakat yang mendukungnya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang ada keterkaitan dengan kultur zamannya. Jumlah Sembilan yang dipilih adalah jumlah bilangan terbesar menurut pandangan orang Jawa. Hal ini selalu dikaitkan dengan perwujudan makrokosmos, sehingga jumlah bilangan penari pada tarian Bedhaya Ketawang merupakan perwujudan makrokosmos dan mikrokosmos.
Hal ini tidak terlepas pada kepercayaan masyarakat Jawa di masa itu yang meyakini tentang kesejajaran jagat raya yaitu dunia manusia. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet. Jumlah Sembilan penari pada tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol mikrokosmos (jagat raya) yang ditandai dengan sembilan arah mata angin yaitu : tengah (sebagai poros), utara, selatan, timur, barat, timur laut, barat laut, tenggara, dan barat daya. Dalam kitab Wedhapariksama dijelaskan bahwa sembilan arah mata angin dilambangkan dengan bentuk cakra dengan pusat lingkaran di tengah. Kesembilan arah itu disebut nawa-dhara atau sembilan jenis sikap. Dari nawa-dhara lahirlah sembilan jenis sakti yang disebut nawa-natha (sembilan penari).
Selain itu jumlah sembilan tersebut juga merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya yang mencakup : bintang, bulan, matahari, angkasa (langit), bumi (tanah), air, api, angin, dan makhluk yang ada di dunia.
Dalam tari Bedhaya Ketawang, jumlah sembilan penari masing-masing mempunyai peran sebagai : batak, endhel, ajeg, gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel, endhel weton dan bucit. Makna dan latar belakang penyusunan tari Bedhaya Ketawang berkaitan dengan nilai kaum ningrat, bertitik tolak dari simbol kehidupan religo-magis Hindu-Jawa seperti uraian berikut ini.
Makna simbolik dalam tari Bedhaya Ketawang yang disebut makna simbolik nilai dualisme dapat dilihat dan dihayati pada bentuk kemanunggalan antar batak dan endel ajeg dalam hubungannya dengan Rwa-Binedha (Proyek Sarana Budaya Bali, 1975/1976:60-61). Pada formasi perangan, endhel ajeg dan batak memegang peran utama, sedangkan ketujuh penari lainnya berperan sebagai penari kelompok. Dalam formasi peranan ini dilukiskan bahwa endhel ajeg berusaha menaklukan batak, tapi tidak ada satupun yang menang atau kalah.
Gambar Formasi perangan
Pada formasi ini batak dan endhel ajeg berdiri, sedangkan yang lain duduk.
Makna yang bisa diambil dari adegan ini adalah figur permusuhan atau dalam istilah Jawa dikenal dengan loro-loroning atunggal. Akan tetapi loro-loroning atunggal ini senantiasa diawali dengan proses yang melambangkan percintaan.
Di dalam tari Bedhaya Ketawang yang menunjukan suatu kaitan dengan sifat Rwa-Bineda secara jelas menunjukan adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara-upacara kesuburan. Ini sesuai denga tema tari ini yang melambangkan kesuburan yaitu menggambarkan hubungan seksual antara panembahan Senopati beserta keturunannya dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan dengan gerak gerak percintaan yang halus secara abstrak.
Kembali kepada penari yang berjumlah Sembilan yang merupakan symbol makrokosmos (jagading manungsa) ditandai dengan adanya Sembilan lubang yang ada pada manusia (lubang hawa nafsu) yaitu : dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu mulut, satu anus, dan satu organ seks. Semua terwakili dalam peran penari Bedhaya Ketawang masing-masing : penari batak sebagai kepala atau akal, penari endhel ajeg sebagai semua nafsu dan keinginan hati, penari jangga mewujudkan bagian leher, penari dhadha menunjukan bagian dada, penari apit ngarep muwujudkan bagian lengan kanan, penari apit mburi mewujudkan bagian lengan kiri, penari endhel waton mewujudkan bagian organ seks,
Tari bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan perlindungan. Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu hijau biru tua dengan warna putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya hidup dari kuasa Tuhan, merupakan sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna biru merupakan simbol keluhuran budi, arif bijaksana, waspada, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-alasan merupakan perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).
0 komentar:
Posting Komentar