Selasa, 10 Maret 2015

Posted by Unknown On 02.48
Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta.
1. (Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
Tarian Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya
Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan
Danurejan, Yogyakarta
Serangkaian acara yang digelar Didik Nini Thowok dalam kerjasamanya dengan berbagai pihak yang membuahkan pergelaran Reborn: International Dance Performances & Seminar mulai tanggal 4-6 Desember 2014 dipungkasi dengan penyajian masterpiece karya Didik yang diberi nama Tari Bedhaya Hagoromo.
Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta. Selain itu Bedhaya Hagoromo juga dipersembahkan sebagai bentuk suka cita dan syukurnya atas usia 60 tahun dirinya yang dalam beberapa konsepsi bangsa Timur disebut sebagai reborn atau kelahiran kembali.
Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang dalam Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
Penampilan Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang
dalam Tari Bedhaya Hagoromo
Bedaya Hagoromo seperti tersirat dalam namanya, merupakan perpaduan dua unsur budaya, Jawa dan Jepang. Hagoromo sendiri berarti “Jubah Terbang”. Hagoromo merupakan salah satu tari drama Noh yang mengisahkan tentang seorang pemancing bernama Hakuryo yang mengambil jubah milik seorang bidadari yang sedang mandi di sungai. Hakuryo mau mengembalikan jubah terbang milik bidadari tersebut dengan syarat bidadari tersebut mau menarikan tarian langit di hadapannya. Setelah syarat dipenuhi, bidadari bisa terbang kembali ke langit. Cerita ini mirip dengan cerita Jaka Tarub di Jawa.
Ciri khas tari garapan Didik yang dinamakan Bedhaya Hagoromo ini seluruh penarinya adalah laki-laki yang kemudian menarikan tarian perempuan (cross gender). Dengan demikian, hal ini juga bisa disebut sebagai bedhaya kakung. Bedhaya Hagoromo sendiri pernah dipentaskan Didik pada tahun 2001 dan 2004. Atas saran GBPH Prabukusumo, Didik kemudian mempersembahkan karya tarinya tersebut kepada Sultan Hamengku Buwana X. Hal itu sebagai ungkapan rasa terima kasih Didik kepada Sultan Yogyakarta sekaligus warga masyarakatnya.
Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya
setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok,
sementara Didik duduk bersimpuh
Tata rias-busana yang dikenakan penari Bedhaya Hagoromo sama seperti penari bedhaya putri pada umumnya, dengan menggunakan rias yang disebut jahitan dan busana jamangan, yang terdiri dari kain lerek motif parang, rompi dengan border mote pada tepinya, sampur sutra warna oranye dengan tumpal, jamang berhiaskan bulu, sumping, kalung, kelat bahu, dan slepe. Selain itu ada pula gelang kana, subang, cunduk jungkat, cunduk mentul, ceplok jebehan (hiasan bunga), pelik pada gelung rambut. Sementara Penari Endhel (diperankan oleh Didik Nini Thowok) mengenakan perhiasan kepala hagoromo yang dihias dengan bunga peony.
Seluruh penari juga menggunakan kipas yang diadaptasi dari kipas jenis chukei seperti yang digunakan dalam drama Noh. Semua pemain mengenakan Topeng K-omote seperti yang dipakai pada Tari Hagoromo Noh Jepang. Penari Endhel selain mengenakan kostum bedhaya seperti lainnya masih ditambah dengan kimono transparan.
Foto bersama seusai pentas Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
Para penari bersama Sri Sultan Hamengku Buwana X
dan Ratu Hemas usai pentas
Pada bagian cerita dimana bidadari (Nawangwulan) menangis dan pemancing (Jaka Tarub) memberikan jubah terbang (Hagoromo) semua penari kemudian mengenakan topeng tiruan (copy) dari topeng K-omote yang dikenakan dalam Tari Noh Hagoromo. Setelah menerima jubah terbang (hagoromo) penari (Didik Nini Thowok) kemudian menarikan tari Noh Hagoromo dengan diiringi instrumen kemanak yang dikolaborasikan dengan Ji-Utai Noh Hagoromo. Tari Bedhaya Hagoromo menggunakan iringan Gendhing Kapang-kapang: kandha, Gendhing Ladrang, serta Gendhing Ketawang.
Usai pementasan Tari Bedhaya Hagoromo Didik Nini Thowok menyerahkan naskah tari tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwana X sebagai wujud persembahan karya tarinya kepada Sultan. Sultan menyambut baik hal itu seraya mengharap agar Didik terus berkreasi dan berkreasi.

0 komentar:

Posting Komentar