Dalam catatan sejarah nan ada, disebutkan bahwa tarian Bedhaya ini merupakan salah satu tarian nan mengandung unsur magis di dalamnya. Tarian ini sempat mengalami masa keemasan di abad 18, ketika raja Surakarta, yaitu Pakubuwono II, III, IV dan VIII berkuasa.
Di mana pada saat mereka berkuasa, banyak tercipta tari Bedhaya. Sayangnya pada saat ini, gending Bedhaya nan masih tersisa hanya beberapa saja, di antaranya Bedhaya Durudasih, Bedhaa Pangkur, dan Bedhaya Tejanata.
Selain itu, masih ada pula Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedaya Sinom, Bedhaya Kabor, Gambir Sawit, serta nan paling terkenal ialah Bedhaya Ketawang.
Salah satu penyebab mengapa banyak tari Bedhaya hilang dan tak ada nan melanjutkan ialah disebabkan oleh pihak Keraton Surakarta sendiri. Pihak kraton melarang tarian tersebut dipelajari secara spesifik atau juga didokumentasikan dalam bentuk buku, sehingga bagi mereka nan ingin belajar tarian tersebut harus datang ke kraton.
Penyebab lain dari hilangnya tarian Bedhaya ini ialah sebab tarian ini tak boleh ditarikan oleh sembarang orang. Hanya perempuan nan belum menikah saja nan boleh menarikan tarian tersebut. Kondisi ini cukup membatasi jumlah orang nan mampu menguasai tarian tersebut.
Dari sekian banyak tarian Bedhaya nan masih tersisa, Bedhaya Ketawang merupakan salah satu nan paling sering ditampilkan hingga saat ini. Salah satunya sebab tarian Bedhaya Ketawang merupakan tarian nan paling tua usianya dan juga menjadi salah satu tarian sakral kerajaan.
Bedhaya Ketawang dianggap sebagai salah satu pusaka Kraton nan harus dijaga kesakralannya. Banyak anggaran nan harus dipenuhi, ketika tarian tesebut dipertunjukkan.
Itulah mengapa tarian ini hanya ditampilkan pada saat-saat tertentu, seperti ketika upacara Jumenengan atau pengangkatan raja baru di lingkungan kraton.
Namun demikian, tak semua tarian Bedhaya ini sakral dan tak dapat ditonton oleh masyarakat umum. Sebab, ada beberapa jenis tarian Bedhaya nan dapat ditarikan tanpa perlu melakukan ritual spesifik atau dengan syarat tertentu, sehingga diciptakanlah beberapa jenis tarian Bedhaya lain nan tujuannya hanya buat bersenang-senang dan kepuasan batin semata.
Bagi masyarakat kraton , tarian bukan sekedar sebuah prosesi pencapaian kesenangan semata. Namun, melalui tarian dapat disampaikan perwujudan rasa syukur, ketika terjadi sebuah peristiwa di dalam lingkup kraton tersebut. Misalnya, saja digunakan buat menyambut kelahiran seorang anak atau dapat dijadikan media buat menyambut kadatangan para tamu.
Di dalam kraton, tari-tarian tersebut disajikan oleh para kelompok abdi dalem putri nan berada di bawah perintah Pengageng Parentah Keputren atau penguasa lingkungan kraton bagian putri.
Mereka memiliki tugas spesifik buat menarikan tarian Beddhaya. Abdi dalem nan bertugas menari ini disebut dengan abdi dalem Bedhaya. Pada abdi dalem ini, bila tak sedang menari, memiliki tugas buat membantu menjaga keamanan di lingkungan mereka.
Keterbukaan kraton Surakarta kepada masyarakat, terkait dengan masalah tarian baru dimulai ketika kekuasaan kraton Surakarta berada di tangan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII.
Tepatnya, sejak tahun 1970, Raja PB XII mulai memberikan kesempatan masyarakat buat turut belajar tentang tarian Bedhaya di luar lingkungan kraton. Salah satu institusi pertama nan memanfaatkan kesempatan tersebut ialah Akademi Seni Karawitan Indonesia atau ASKI, nan pada saat itu masih berada di kawasan Gelanggang Mulyo Baluwarti.
Dengan adanya ijin dari PB XII ini, para nayaga serta pengeprak dari dalam kraton, diberi kesempatan buat berlatih bersama dengan masyarakat umum. Dari sinilah kemudian tarian Bedhaya mulai dapat dipelajari serta ditampilkan di luar lingkungan kraton.
Tarian Bedhaya sendiri, dimainkan oleh sembilan orang perempuan. Masing-masing penari akan diberi dandanan busana serta tata rambut nan sama persis. Namun, meski memiliki dandanan nan sama, mereka diberi nama nan berbeda buat setiap orangnya.
Ada sembilan nama nan digunakan oleh para penari Bedhaya tersebut, antara lain Batak, Gulu, Dadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingkung, dan Apit Ngajeng Bancit.
Menurut Ki Hajar Dewantara, Bedhaya merupakan rakitan tarian nan dilakukan oleh sembilan orang, nan ditata dalam sebuah ritmis dan standen. Ritme nan ada dalam tarian Bedhaya ini memiliki kekhasan tersendiri. Konvoi tarian Bedhaya ini cenderung lebih halus dan tak terdapat konvoi nan menghentak, sehingga cenderung lebih landai.
Ada sebuah cerita mistis nan sering terdengar dalam pertunjukan tari Bedhaya ini. Salah satunya adalah, bahwa pada saat tarian ini ditampilkan, seolah-olah akan nampak ada sepuluh orang nan sedang memainkan tarian tersebut. Padahal, secara konkret hanya ada sembilan orang nan menjadi penari tarian Bedhaya.
Diyakini, bahwa tambahan satu orang tersebut ialah jelmaan dari Nyi Roro Kidul nan turut masuk ke dalam tarian dan bergabung bersama para penari tersebut. Namun, cukup sulit buat melihat nan mana penari nan orisinil dan mana penari nan merupakan jelmaan sebab masing-masing memiliki dandanan nan sama persis.
Masih banyak lagi ragam seni tarian provinsi Jawa Tengah selain dari tari Bedhaya. Demikian uraian mengenai seni tradisional tarian dari Jawa Tengah. Semoga uraian tersebut bermanfaat dan menambah wawasan Anda.
0 komentar:
Posting Komentar