Menurut sejarahnya, tari Bedhaya dalam pelembagaannya merupakan tari klasik yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli Jawa. Tari Bedhaya yang tertua adalah Bedhaya Semang yang diciptakan oleh Hamengku Buwono I pada tahun 1759, dengan cerita perkawinan Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang berkuasa di samudera Indonesia. Pelembagaan tari Bedhaya Semang ini dianggap sakral karena perkawinan tersebut dianggap sebagai hubungan suci. Karena kesakralannya itulah, maka Bedhaya Semang menjadi pusaka kraton yang sangat dikeramatkan. Sebagai sebuah genre tari, spesifikasi Bedhaya antara lain, adalah pertama, ditunjukkan dengan penggunaan penari putri yang pada umumnya berjumlah sembilan dan mempergunakan rias busana yang serba kembar. Kedua, Bedhaya sebagai salah satu genre tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam penyusunan gerak tari putri di keraton Yogyakarta. Ketiga, tari Bedhaya memiliki muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam, sehingga menjadi contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep alus-kasar dalam tari Jawa (Pudjasworo 1993:2).
Muatan
makna simbolik filosofis yang begitu tinggi dan dalam dari tari
Bedhaya, menyebabkan genre tari ini senantiasa ditempatkan sebagai salah
satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di kasultanan
Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Tarian ini bahkan dianggap sebagai
salah satu atribut sang raja, yang pada gilirannya juga berfungsi
sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan para sultan
atau sunan. Niat dari setiap pergelaran tari Bedhaya untuk state ritual,
yang bisa dilihat di dalam setiap kandha Bedhaya Srimpi, yakni selalu
ditujukan untuk membangun kesejahteraan serta kemakmuran rakyat dan
negara, kelangsungan kekuasaan sang raja, dan semakin meningkatkan
kewibawaan dan kemashuran, serta harapan agar sang raja mendapat
anugerah usia panjang (Pudjasworo 1993:8).
Sejak
zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang (Sultan H.
B. X), tradisi memiliki pelembagaan Bedhaya terus dilakukan.
Masing-masing Sultan ketika memerintah sengaja menciptakan atau
mementaskan pelembagaan tarian itu, semata-mata bukan kepentingan
pertunjukansaja, tetapi sebagai perwujudan pengukuhan kewibawaan, dan
lebih kepada kepentingan ritual. Ciri-ciri itu dapat dilihat misalnya
tempat pementasannya yang diselenggarakan di Bangsal Kencana dan
digunakan untuk kepentingan upacara penting, misalnya hari ulang tahun
raja, penobatan, dan ulang tahun penobatan raja. Sultan sebagai saksi
utama dan cerita atau tema yang dibawakan memiliki isi atau pun nilai
tertentu. Para penari yang membawakan harus dalam keadaan bersih dalam
arti tidak sedang menstruasi ( Hadi 2001:83).
Dalam
upacara-upacara atau ritus kerajaan yang bersifat sakral dengan
menghadirkan tari Bedhaya itu, berfungsi sebagai alat kebesaran raja,
sama dengan alat-alat kebesaran yang lain yang memiliki kekuatan magis
seperti berbagai macam senjata, payung kebesaran, mahkota, dan
benda-benda lainnya. Bedhaya dan benda-benda dengan kekuatan magis yang
terkandung di dalamnya, berfungsi sebagai regalia atau pusaka kerajaan,
yang senantiasa turut memperkokoh maupun memberi perlindungan,
ketenteraman, kesejahteraan kepada raja beserta seluruh kawulanya.
Kepercayaan seperti itu memiliki makna peranan kosmis raja, istana dan
pemerintahannya, yakni kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Artinya istana sebagai mikrokosmos berusaha mencari keselarasan,
keserasian maupun keharmonisan kehidupan dengan makrokosmos, yaitu
mengharapkan kelanggengan untuk mencapai kesejahteraandan kemakmuran
0 komentar:
Posting Komentar