ENTER-SLIDE-1-TITLE-HERE

ENTER-SLIDE-2-TITLE-HERE

ENTER-SLIDE-3-TITLE-HERE

ENTER-SLIDE-4-TITLE-HERE

Selasa, 10 Maret 2015

Posted by Unknown On 03.08
Bedhaya_KetawangKETIKA TARI KLASIK DIPERKENALKAN KEMBALI 
Bedhaya Srimpi merupakan salah satu bentuk court art yang kini keberadaannya mulai harus lebih diperhatikan. Berasal dari dalam tembok kerajaan di Jawa, tari Bedhaya dan Srimpi bisa dikatakan merupakan induk dari bentuk tari Jawa putri. Pada awalnya berkembang berbagai bentuk tari Bedhaya dan Srimpi. Hampir semua Raja di tanah Jawa membuat tari Bedhaya dan Srimpi di masa pemerintahan mereka.

Perkembangan Bedhaya dan Srimpi kini justru banyak berada di tangan masyarakat. Namun karena pergeseran kebudayaan serta kondisi ekonomi yang menurun dalam masyarakat, maka kekuatan masyarakat untuk menjaga warisan budaya ini juga semakin surut. Satu-persatu penjaga tari Bedhaya dan Srimpi mulai berkurang. Kini, para peneliti dari mancanegara mulai berdatangan untuk melakukan pencatatan kesenian ini. Amatlah disayangkan, apabila aset seni budaya kita yang berlimpah-ruah justru dipelajari oleh bangsa lain, sementara kita sendiri lupa bahwa tradisi kita begitu kaya dan penuh inspirasi. Kelengahan kita dalam menjaga aset budaya kita membuka ruang bagi pihak asing untuk mempelajari warisan tradisi yang langka ini. Suatu saat nanti, ketika kita mulai lepas dari akar kebudayaan kita, maka sungguh ironis bila kita harus mempelajari kembali warisan budaya leluhur kita justru dari bangsa lain – semata karena kita lupa untuk menjaganya. 

Berangkat dari kepedulian tersebut, sebuah program konservasi jangka panjang digelar untuk tari Bedhaya dan Srimpi, dengan narasumber utama Sulistyo Tirtokusumo, master tari klasik Jawa, dan Michi Tomioka, kandidat doktor dari University of Osaka, Jepang, yang telah meriset dan mempelajari tari Bedhaya dan Srimpi selama beberapa tahun di Indonesia. Tujuannya adalah penyelamatan ragam tari Bedhaya dan Srimpi melalui pendokumentasian digital / audio-visual yang kelak akan memudahkan siapapun untuk mempelajarinya. Program konservasi ini dimulai dalam bentuk workshop, dimana hasil dari workshop ini akan didokumentasikan dalam bentuk audio-visual. Program konservasi ini kami anggap tinggi urgensinya, mengingat master tari klasik yang menguasai 10 tari Srimpi versi asli dengan durasi panjang (minimal 60 menit) yaitu Ibu Sri Sutjiati Djoko Suhardjo, belum lama ini meninggal. Diantara beberapa murid penarinya, salah seorang membuat catatan lengkap mulai dari transkripsi vokabuler gerakan hingga transkripsi gendhing (musik), yaitu Michi Tomioka, asal Jepang. 

TARI SRIMPI & BEDHAYA YANG AKAN DIDOKUMENTASIKANTari Srimpi dan Bedhaya asal Keraton Surakarta yang berkembang dan diajarkan di sekolah/sanggar tari pada umumnya adalah versi pemendekan dari versi asli yang rata-rata berdurasi minimal 60 menit.  Pada program pendokumentasian ini, yang akan direkam adalah versi asli berdurasi panjang, yaitu :
1.         Srimpi Anglir Mendung (karya Sunan PB IV)
2.         Srimpi Tameng Gito (karya Sunan PB VIII)
3.         Srimpi Gandakusuma (karya Sunan PB IX)
4.         Srimpi Dhempel
5.         Srimpi Sukarsih (karya Sunan PB VIII)
6.         Srimpi Sangupati (karya Sunan PB IX)
7.         Srimpi Lobong (karya Sunan PB IX)
8.         Srimpi Glondong Pring (karya Sunan PB IX)
9.         Srimpi Ludira Madu (karya Sunan PB V)
10.    Srimpi Gambir Sawit
11.    Bedhaya Duradasih (karya Sunan PB V)
12.    Bedhaya Pangkur (karya Sunan PB VIII)

Dari jenis-jenis diatas, beberapa sudah didokumentasikan, meskipun dalam versi pendek. Untuk pendokumentasian tahap 1 ini, dilakukan workshop terbatas untuk 2 Srimpi terlebih dahulu yaitu Srimpi Sukarsih dan Srimpi Dhempel. Untuk beberapa sisanya, pendokumentasian akan dilakukan pada tahap 2 dan 3 di awal dan pertengahan 2012. Karena beberapa catatan lengkap dari Srimpi tersebut berada di Jepang (dokumentasi Michi Tomioka) dan baru diambil akhir tahun ini semuanya untuk pendokumentasian tahap berikutnya. Metode pendokumentasian dilakukan melalui workshop dimana Michi Tomioka memberikan arahan vokabuler gerak sesuai catatan yang dibuatnya berdasarkan narasumber Ibu Sri Sutjiati Djoko Suhardjo (alm) kepada para penari. Dalam proses ini, master tari klasik Jawa Sulistyo Tirtokusumo – yang juga merupakan guru tari dari Michi Tomioka – turut turun tangan dalam memberikan arahan.

PEMANFAATAN YOUTUBE UNTUK PENYEBAR-LUASAN 
Hasil dari pendokumentasian ini dapat diunduh melalui youtube agar memudahkan mereka yang ingin mempelajarinya. Video hasil dokumentasi ini akan dipertunjukan secara luas dan gratis melalui youtube, dan siapapun dipersilahkan untuk mengunduh video dokumentasi ini untuk kebutuhan studi dan pembelajaran, dengan kualitas gambar (resolusi) apa adanya. Namun bagi peminat serius yang ingin memiliki video hasil dokumentasi ini dengan kualitas gambar yang jauh lebih baik, dapat membelinya dan akan mendapatkan user id dan password untuk mengunduhnya melalui website.

PROYEK PENDOKUMENTASIAN GOTONG ROYONGProgram ini merupakan program konservasi yang bersifat gotong royong. Hal ini disadari oleh tim produksi berdasarkan pengalaman selama ini, dimana sponsor kurang berminat untuk mendukung proyek dokumentasi semacam ini karena dianggap tidak ’menjual’ dan tidak bersifat massal. Meski dengan segala keterbatasan, proyek pendokumentasian ini dirasa tetap harus dijalankan. Workshop tertutup dilakukan di Gedung F lantai 6 yang difasilitasi oleh Direktorat Seni Pertunjukan. 

Hal ini juga terkait dengan pemilihan para penari. Untuk jenis Srimpi yang sulit dengan tempo lambat dan tingkat intensitas tinggi maupun vokabuler gerak yang beragam, akan ditarikan oleh para penari Jawa senior. Salah satunya adalah koreografer Elly D. Luthan. Sementara untuk Srimpi dengan tingkat kesulitan menengah, beberapa penari ’relawan’ diminta sumbangsihnya untuk mempelajarinya dalam rangka proyek pendokumentasian ini. Sebagian besar penari yang terlibat merupakan para penari Jawa tradisional yang pernah mempelajari tari Srimpi dan Bedhaya. Pada pendokumentasian tahap berikutnya di tahun 2012, direncanakan sebuah workshop terbuka dimana penari-penari relawan (umum) yang memiliki dasar tari Jawa klasik memadai, dipersilakan untuk ikut mempelajarinya.
Posted by Unknown On 03.05


Kategori: Tarian
Elemen Budaya: Tarian
Provinsi: DI Jogjakarta
Asal Daerah: Yogyakarta
Sesuai dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh 7 orang penari (biasanya 9 orang penari). Bedhaya ini ciptaan Sri Sultan HB IX. Bedhaya ini bercerita tentang 2 orang utusan Sultan Agung untuk menuju Batavia. dalam perjalanan menuju Batavia kedua utusan itu harus menghadapi berbagai rintangan. Akhirnya kedua utusan tersebut dapat melewati segala rintangan yang ada.
Posted by Unknown On 03.01
BEDHAYA SURYASUMIRAT





Mengenal Bedhaya Suryasumirat
                        Tari tradisi istana jawa yang dikenal sekarang, secara garis besar terdiri dari tari tradisi Surakarta dan tari tradisi Yogyakarta. Berdasarkan tradisi-tradisi sastra yang menyertainya , asal-usul penciptaannya senantiasa dikembalikan kepada raja-raja yang bertahta pada saat itu, seperti Panembahan Senapati, Sultan Agung, Hamengkubuwana I, Pakubuwana dan Mangkunegara. Hal tersebut berkaitan erat dengan cita pikiran tentang kedudukan raja yang dipercayai bersifat dewa,yang berkuasa di negara kosmis.Mereka sebagai tokoh-tokoh besar dalam dinasti Mataram Baru yang dianggap pencipta dari tari-tarian Jawa yang dikenal sekarang ini merupakan suatu kebulatan kosmos yang tidak lepasdari masa-masa sebelumnya.
                        Para Mangkunagaran seperti halnya istana-istana di Jawa, hinggasekarang terlihat masih menyelenggarakan suatu bentuk tarian yang dinamakan bedhaya.Pada umumnya bedhaya di Mangkunaga ditarikan oleh tujuh orang penari putri(Anglirmendhung dan Bedhah Madiun), walaupun sebelumnya ada pula komposisi yang terdiri dari tiga orang penari putri (Anglirmendhung), dan sekarang terdapat bedhaya yang menggunakan sembilan orang penari putri (Bedhaya Suryasumirat).Istana merasa perlu memerlukan menampilkan tarian yang selalu dihubungkan dengan ritus ini tadak lain sebagai bagian yang upaya yang ditujukan bagi kepentingan tegaknya wibawa pemerintahan istana.
                        Tari bedhaya adalah tari putri yang hidup dan berkembang di istana. Sebelum abad XVIII tari bedhaya mutlakmilik kerajaan.Oleh karena itu tari bedhaya hanya dipentaskan di dalam istana.Hal ini sebagai pengaruh adanya anggapan bahwa bedhaya merupakan pusaka kerajaan.Ia dianggap sebagai kekayaan yang memberikan konstribusi dalam mengkultus kan raja dan meningkatkan kewibawaan raja.Kepemilikan bedhaya juga menunjukkan status yang tinggi,sehingga kemudian tradisi memiliki bedhaya mulai diikuti para penguasa di bawah raja.Beberapa adipati,bupati, dan wedana mulai banyak raja yang memiliki bedhaya.Bila penggunaan Bedhaya Suryasumirat di Mangkunagaran adalah suatu kesengajaan maka secara politis hal itu dapat dikatakan ada gejala untuk menyamai praja meskipun hal itu dilakukan secara halus.
                        Penyajian Bedhaya Suryasumirat itu karena ketidaklazimannya tentu memiliki maksud-maksud tertentu yang mungkin berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Bedhaya baru ini sedemikian besar artinya sehingga sudah barang tentu mengandung masud-maksud yang besar atas penyusunannya. Oleh karena itu perlu dipahami juga proses pembentukannya serta apa yang berbeda dari bedhaya yang lazim dimiliki oleh keraton.


      
    Posted by Unknown On 02.54

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" : Tataran Kesempurnaan Manusia



    Karya Sri Sultan Hamengku Buwana X


    Sakral, hening serta magis mendadak menyelimuti Bangsal Kencono, sesaat para pengetuk gamelan perlahan memainkan gending Ladrang Prabu Anom dalam mengiringi sembilan penari putri yang melangkah tak kalah lambannya memasuki sayap Bangsal Kencono. Dalam gemulai para penari mulai merunduk mengambil posisi sembahan, perlambang manusia menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa Keraton.

    Gerak merendahkan bahu, dagu ditarik, pergelangan tangan gemulai sambil sesekali menghentak mengibaskan selendang - menciptakan tegangan daya ekspresi dalam tubuh penari menjadi karakteristik Tari Bedhaya. Tarian putri Jawa klasik yang adiluhung, halus, luhur - bercerita tentang legenda, babad ataupun sejarah.

    Bagai bidadari, paras sembilan penari hampir serupa. Ayu, anggun dan bersinar - dalam balutan dan Goresan wajah khas mempelai putri pengantin Jawa. Alur komposisi rias paes ageng dimulai pada dahi yang diberi paesan berwarna hitam. lapisan garis prada (emas) mengelilingi mempertegas garis luar paesan. Tak luput Wajikan ditengah dahi, bentukan alis menjangan ranggah, hingga rambut tergulung kembang melati rangkai.

    Balutan busana dodot berupa kain bermotif cinde dan kampuh berwarna semen berpadu dengan kilau kalung susun serta plat bahu menambah sentuhan pada lengan bagian atas, sedang pada daun telinga terselip sumping ron dan subang. Seakan rapatnya dodot-an tak membatasi gerak tari selama satu jam tanpa henti, Gerak-gerak lengkung terus mengalir (mbanyu mili) membuat formasi berubah-ubah menjadikan alur cerita yang apik.

    Tak melulu gemulai, adegan perang dalam tempo tinggi membuat dua orang penari dengan setengah berlari saling mencoba menghunuskan keris. Perang yang dijadikan simbol dari pergolakan batin manusia dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan yang diwujudkan melalui sosok Harjuna.

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X kali ini menjadi garapannya yang ketiga. Karya Perdana beliau Tahun 1997 berjudul "Arjuna Wiwaha". Di Tahun 2004 bertepatan dengan peringatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai pahlawan nasional terciptalah "Amurwo Bumi" yang menjadi wujud penghormatan beliau kepada ayahnya (Sri Sultan Hamengku Buwana IX). Dibantu R Riya Kusumaningrat (RAy Sri Kadaryati) selaku penata tari senior yang sekaligus mendapat Dhawuh dari Sri Sultan untuk menggarap tari bedaya ini, proses pencarian gerak diawali dengan menerjemahkan sinopsis cerita yang ditulis langsung oleh Sri Sultan.

    Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" menceritakan tentang tokoh Harjuna yang menurut anggapan Sri Sultan bukanlah tokoh yang sering gonta-ganti pasangan, melainkan ksatria sejati yang berjuluk lananging jagad wujud nyata manusia yang sudah menuju tataran sempurna yang bertugas "memayu hayuning bawana", ksatria yang waskitha (mengetahui kejadian yang belum terjadi) hingga pantas menjadi teladan bagi para satria dan manusia biasa.

    Harjuna adalah sejatining satriya, contoh manusia sempurna yang dalam menjalani kehidupannya dengan mengedepankan tiga hal: Tirta Martini; sumber air kehidupan manusia "banyu penguripan" menjadi inti daya air yang berada di tubuh manusia (sperma). Tirta Kamandanu; Banyu wiji tempat/wadah sperma lan madzi (indung telur) manusia, awal mula sperma dan indung telur bertemu pada saat suami istri melakukan persetubuhan. Terakhir, Tirta Prawita Sari; dengan menyatunya tirta martani dan tirta kamandanu didalam tubuh manusia (istri) akan menumbuhkan kekuatan, cahaya wibawa terpancar. Dengan diawali bahwa manusia harus selalu ingat, tahu dan mengkaji setiap peristiwa (kenyataan) maka manusia akan mendapatkan karomah keghoiban, hingga manusia akan menjadi "minyak wewadosing jagad" (terang bagi dunia).

    Bedhaya bila diwujudkan dalam kehidupan manusia dapat diartikan sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan planet-planet dalam kehidupan alam semesta dan lambang sembilan lubang hawa dalam tubuh manusia sebagai kelengkapan hidup atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai babadan hawa sanga yaitu; lubang dikedua mata, dua buah lubang hidung , satu mulut, dua buah kuping, satu lubang kemaluan dan satu lubang pelepasan.

    Menurut masyarakat Jawa sembilan unsur lubang hawa inilah yang memegang kendali dalam kehidupan manusia dan bisa mengakibatkan berbagai masalah jika tidak dijaga dan dikendalikan dengan baik. Pesan yang tersampaikan bahwa manusia diharapkan mampu berserah diri, tawakal dan selalu melakukan introspeksi diri dengan melakukan perenungan, tapa/samadi dan berdialog dengan Yang Maha Kuasa.

    Gerak Tari Bedhaya Harjuna Wijaya yang sarat muatan nilai simbolik dan filosofi kawruh joget Mataram, menarik benang merah akan keterkaitan pada kehidupan didunia dan lebih berorientasi kepada pemahaman diri sendiri, perenungan diri antara manusia sebagai pribadi individual dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup harus dilihat sebagai perjuangan bukan hanya dijalani tanpa arti.

    Tari Bedhaya memandu kita dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan. Menuju tataran manusia yang sempurna meski tak sesempurna tokoh Harjuna.
    Posted by Unknown On 02.48
    Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta.
    1. (Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Tarian Didik Nini Thowok dalam busana Tari Bedhaya
    Hagoromo-nya di Pendapa Bangsal Kepatihan
    Danurejan, Yogyakarta
    Serangkaian acara yang digelar Didik Nini Thowok dalam kerjasamanya dengan berbagai pihak yang membuahkan pergelaran Reborn: International Dance Performances & Seminar mulai tanggal 4-6 Desember 2014 dipungkasi dengan penyajian masterpiece karya Didik yang diberi nama Tari Bedhaya Hagoromo.
    Bedhaya yang dipersembahkannya bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X ini merupakan salah satu wujud terima kasihnya sebagai penari yang merasa telah diterima, dibesarkan, dan dimekarkan dalam karier tarinya di Yogyakarta. Selain itu Bedhaya Hagoromo juga dipersembahkan sebagai bentuk suka cita dan syukurnya atas usia 60 tahun dirinya yang dalam beberapa konsepsi bangsa Timur disebut sebagai reborn atau kelahiran kembali.
    Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang dalam Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Penampilan Didik Nini Thowok bersama penari bedhaya lanang
    dalam Tari Bedhaya Hagoromo
    Bedaya Hagoromo seperti tersirat dalam namanya, merupakan perpaduan dua unsur budaya, Jawa dan Jepang. Hagoromo sendiri berarti “Jubah Terbang”. Hagoromo merupakan salah satu tari drama Noh yang mengisahkan tentang seorang pemancing bernama Hakuryo yang mengambil jubah milik seorang bidadari yang sedang mandi di sungai. Hakuryo mau mengembalikan jubah terbang milik bidadari tersebut dengan syarat bidadari tersebut mau menarikan tarian langit di hadapannya. Setelah syarat dipenuhi, bidadari bisa terbang kembali ke langit. Cerita ini mirip dengan cerita Jaka Tarub di Jawa.
    Ciri khas tari garapan Didik yang dinamakan Bedhaya Hagoromo ini seluruh penarinya adalah laki-laki yang kemudian menarikan tarian perempuan (cross gender). Dengan demikian, hal ini juga bisa disebut sebagai bedhaya kakung. Bedhaya Hagoromo sendiri pernah dipentaskan Didik pada tahun 2001 dan 2004. Atas saran GBPH Prabukusumo, Didik kemudian mempersembahkan karya tarinya tersebut kepada Sultan Hamengku Buwana X. Hal itu sebagai ungkapan rasa terima kasih Didik kepada Sultan Yogyakarta sekaligus warga masyarakatnya.
    Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Sri Sultan Hamengku Buwana X membacakan sambutannya
    setelah menerima naskah Tari Bedhaya Hagoromo dari Didik Nini Thowok,
    sementara Didik duduk bersimpuh
    Tata rias-busana yang dikenakan penari Bedhaya Hagoromo sama seperti penari bedhaya putri pada umumnya, dengan menggunakan rias yang disebut jahitan dan busana jamangan, yang terdiri dari kain lerek motif parang, rompi dengan border mote pada tepinya, sampur sutra warna oranye dengan tumpal, jamang berhiaskan bulu, sumping, kalung, kelat bahu, dan slepe. Selain itu ada pula gelang kana, subang, cunduk jungkat, cunduk mentul, ceplok jebehan (hiasan bunga), pelik pada gelung rambut. Sementara Penari Endhel (diperankan oleh Didik Nini Thowok) mengenakan perhiasan kepala hagoromo yang dihias dengan bunga peony.
    Seluruh penari juga menggunakan kipas yang diadaptasi dari kipas jenis chukei seperti yang digunakan dalam drama Noh. Semua pemain mengenakan Topeng K-omote seperti yang dipakai pada Tari Hagoromo Noh Jepang. Penari Endhel selain mengenakan kostum bedhaya seperti lainnya masih ditambah dengan kimono transparan.
    Foto bersama seusai pentas Tari Bedhaya Hagoromo di Pendapa Bangsal Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, difoto: Sabtu, 6 Desember 2014, foto: a.sartono
    Para penari bersama Sri Sultan Hamengku Buwana X
    dan Ratu Hemas usai pentas
    Pada bagian cerita dimana bidadari (Nawangwulan) menangis dan pemancing (Jaka Tarub) memberikan jubah terbang (Hagoromo) semua penari kemudian mengenakan topeng tiruan (copy) dari topeng K-omote yang dikenakan dalam Tari Noh Hagoromo. Setelah menerima jubah terbang (hagoromo) penari (Didik Nini Thowok) kemudian menarikan tari Noh Hagoromo dengan diiringi instrumen kemanak yang dikolaborasikan dengan Ji-Utai Noh Hagoromo. Tari Bedhaya Hagoromo menggunakan iringan Gendhing Kapang-kapang: kandha, Gendhing Ladrang, serta Gendhing Ketawang.
    Usai pementasan Tari Bedhaya Hagoromo Didik Nini Thowok menyerahkan naskah tari tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwana X sebagai wujud persembahan karya tarinya kepada Sultan. Sultan menyambut baik hal itu seraya mengharap agar Didik terus berkreasi dan berkreasi.

    Senin, 09 Maret 2015

    Posted by Unknown On 08.05
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Hasil gambar untuk tari bedhaya
    Posted by Unknown On 07.45
    •         Bedhaya Angron Sekar. Cerita dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, bermaksud balas dendam. Tapi ternyata,  justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya. Bedhaya Angron Sekar ini merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura.