Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik) yakni latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar kencana dan pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja. Pada saat kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak, mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari), kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
Tata rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa. Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena bentuknya paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup kuncup bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari Bedhaya Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung. Ini merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang mengheningkan cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan sebagai sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya makna simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
Rambut disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai rajut yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun talak (hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat. Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe berwarna kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah keindahan warna busana.
Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk mentul (bunga goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa bertabur intan, dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk wulan tumanggal (bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana (Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon beringin ini disebut Kalpataru dan Dewantaru yang mempunyai makna kesuburan yang abadi membawa kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya Ketawang sangat kesakralannya.
0 komentar:
Posting Komentar